Bismillah.
Allah berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging ataupun darahnya (sembelihan kurban, pen). Akan tetapi yang akan sampai kepada Allah adalah ketakwaan dari kalian.” (al-Hajj : 37)
Imam al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini berkenaan dengan kebiasaan orang-orang musyrikin jahiliyah ketika menyembelih kurban kemudian mereka perciki Ka’bah dengan darah-darah dari hasil sembelihannya sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah. Maka Allah pun menurunkan ayat ini. Sehingga dijelaskan bahwa yang akan terangkat menuju Allah adalah amal salih, ketakwaan, dan keikhlasan (lihat Ma’alim at-Tanzil, hlm. 869)
Ayat di atas dibawakan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Riyadhush Shalihin di bawah bab berjudul ‘Ikhlas dan menghadirkan niat dalam segala amal dan ucapan; baik yang tampak maupun yang tersembunyi’. Ayat ini semakna dengan hadits yang dibawakan oleh Imam an-Nawawi dalam bab tersebut yaitu hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada fisik kalian atau rupa kalian. Akan tetapi Dia memandang kepada hati kalian…” (HR. Muslim no 2564)
Di dalam Shahih Muslim, selain redaksi tersebut hadits ini juga disebutkan dengan redaksi lain yang lebih sempurna, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa dan harta kalian. Akan tetapi Dia memandang kepada hati dan amalan-amalan kalian.” (HR. Muslim no 2564)
Letak Kemuliaan Seorang Hamba
Dalil-dalil ini menunjukkan kepada kita bahwa ketakwaan seorang itu dilihat pada keadaan hati dan amalannya. Ketakwaan itulah yang akan dinilai oleh Allah, bukan karena keelokan rupa, banyaknya harta, atau keadaan fisiknya. Artinya semakin ikhlas seorang hamba dalam beribadah kepada Allah dan semakin tunduk kepada perintah dan larangan-Nya maka dia semakin mulia di sisi Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa…” (al-Hujurat : 13)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya membawakan hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau mengatakan, “Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuat takjub/kagum terhadap perkara dunia sedikit pun. Dan tidak ada sama sekali orang yang membuat beliau kagum kecuali orang yang memiliki ketakwaan.” (HR. Ahmad) (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 7/299)
Kedudukan ikhlas dalam takwa laksana pondasi pada sebuah bangunan. Oleh sebab itu Muthorrif bin Abdullah rahimahullah berkata, “Baiknya hati adalah dengan baiknya amalan. Sedangkan baiknya amalan adalah dengan baiknya niat.” Abdullah bin al-Mubarok rahimahullah juga mengatakan, “Betapa sering amalan yang kecil menjadi besar karena niatnya. Dan betapa sering amalan yang besar menjadi kecil juga karena niatnya.” (lihat Jami’ al-’Ulum wal Hikam, hlm. 19)
Wajibnya Meluruskan Niat
Hal ini memberikan pelajaran bahwa kita butuh untuk senantiasa memurnikan niat dan meluruskan tujuan dalam beramal. Karena salah satu sebab rusaknya amal adalah kerusakan niat. Bahkan amal itu bisa terhapus gara-gara tidak ikhlas. Sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah (yang artinya), “Dan seandainya mereka berbuat syirik pasti akan terhapus semua amal yang dahulu pernah mereka lakukan.” (al-An’am : 88)
Sebagaimana diterangkan para ulama bahwa syirik besar menghapus seluruh amal yang dikerjakan sebelumnya, sedangkan syirik kecil -semacam riya’ atau sum’ah- menghapus amal yang tercampuri oleh syirik tersebut. Padahal syirik di tengah umat ini lebih samar daripada bekas rayapan seekor semut. Imam Abu Ya’la dan Ibnul Mundzir rahimahumallah membawakan riwayat dari Hudzaifah bin al-Yaman dari Abu Bakar radhiyallahu’anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Syirik lebih samar dari bekas rayapan semut.” (lihat Fath al-Majid, hlm. 73)
Khawatir Bahaya Syirik
Ikhlas dan tauhid adalah pondasi bagi amalan, sebagaimana bangunan tidak bisa tegak tanpa keduanya maka demikian pula agama seorang hamba dan ketakwaannya tidak akan kokoh dan berdiri kecuali dengan landasan tauhid dan keikhlasan. Sementara syirik adalah ‘bom nuklir’ yang meluluhlantakkan semua bangunan amal kebaikan. Maka hal itu menimbulkan rasa takut dan kewaspadaan pada diri seorang hamba agar tidak terjatuh dalam kesyirikan. Sebagaimana orang mukmin takut amalnya tidak diterima, maka seorang ahli tauhid takut amalnya hancur karena virus kesyirikan yang menyerang amal-amal dan ibadahnya.
Bagaimana tidak? Sementara Nabi Ibrahim ‘alaihis salam; seorang yang sangat dicintai Allah dan mendapat gelar sebagai khalil/kekasih ar-Rahman pun berdoa kepada Rabbnya (yang artinya), “Dan jauhkanlah aku dan anak-anak keturunanku dari menyembah patung.” (Ibrahim : 35). Oleh sebab itu seorang ulama terdahulu bernama Ibrahim at-Taimi rahimahullah mengatakan, “Lantas siapakah orang yang bisa merasa aman dari malapetaka itu (syirik) setelah Ibrahim?” (lihat nukilan ini dalam kitab Fathul Majid karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan, hlm. 72)
Semoga Allah lindungi kita dari syirik yang tampak maupun yang tersembunyi. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, 12 Jumada Tsani 1441 H / 6 Februari 2020